Secangkir teh hangat menyambutku pagi ini. Rasanya tawar. Namun keluarga menjadi pelengkap pagi ini; manis. Aku begitu mencintai hal seperti ini. Meskipun kecil tapi kebersamaannya greget banget! Sejenak aku melepas rindu bersama Keluarga kecilku. Sudah lama aku tidak menikmati kebersamaan ini. Entah apa yang sedang kami bicarakan, tiba-tiba pembicaraan mengarah kepadaku. Tentang teman-temanku, sekolahku, asramaku, dan juga masa depanku. Aku juga sempat bercerita tentang seseorang yang turut nyumbangin inspirasi terbesar dalam hidupku. Dan apa respon mereka? “Dia aja bisa, kenapa kamu tidak!” celetuk ibuku.Sesaat hening, ayahku kembali membuka pembicaraan. Dan terkutuklah aku, beliau menanyaiku tentang cita-cita apa yang aku impikan. Mati gaya aku di depannya. “belum terfikir” jawabku singkat. Memang sampai detik ini aku belum dapat menentukan arah kemana dan dimana aku akan melangkah. Perbincangan mulai terasa aneh di telingaku. Sepatah nasehat terlontar dari mulut ayahku “kuliah masuk kedokteran saja, bagaimanapun akan tetap saya biayai”. ooh tidak, sebenarnya jauh meleset dari benakku. Tak pernah terfikir sebelumnya jika akhirnya ayah-lah yang memilihkan jalan untukku. Tapi di lain sisi saya mengerti; pilihan orang tua selalu yang terbaik. Meskipun tidak sesuai dengan keinginan maupun kemampuanku, namun mulai hari ini saya akan memulai untuk merakit mimpi—mimpi kedua orang tua—dokter. Perlahan saya meyakinkan diri sendiri, ini memang jalanku.Perbincangan singkat pagi itu cukup memberiku pelajaran akan pentingnya masa depan. Bagiku, bagaimanapun impian seseorang tidaklah nyata jika ia hanya berpangku tangan dan tidak mau berusaha untuk meraihnya. Suatu saat saya akan temukan titik dimana aku dapat mengaplikasikan ilmuku kepada banyak orang; Dokter hafal al-Qur’an.Aku kembali meneguk teh yang sudah mulai dingin.
15 April 2013
Sebuah Pagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
suatu harapan kecil ayah. :)
BalasHapussuatu realita yang mulai ku ukir, sekarang.
BalasHapus