Waktu berputar sangat cepat, masa
merah putih baru saja kuselesaikan. Sekarang saatnya masuk dalam gerbang putih
biru. Setamat SD aku di hadapkan dilema yang cukup besar. Aku terhimpit
di antara dua pilihan yang rumit. Sekolah negeri atau madrasah. Tiga perempat
hatiku memilih sekolah negeri. Tapi seperempat lainnya mengharuskan untuk
mematuhi orang tuaku sekolah di madrasah. Tapi pada akhirnya aku tak perlu
berpikir panjang karena takdir telah menentukan, kembali aku harus menerimanya
dengan ikhlas.
“Ibu, ayah, eyangti, aku pamit ya.
Minta doanya biar aku betah disana“ aku meminta restu kepada seantero rumah.
Dengan berat hati, aku mulai beranjak dari pintu rumah. Kulangkahkan kaki
menuju rumah baru yang masih sangat asing bagiku, begitu juga penghuninnya.
Rumah baruku jelas sangat berbeda dengan rumah yang aku tinggali sejak lahir
sampai sebesar ini.
Kericuhan menyambutku ketika
pertama kali aku datang, semua mata tertuju padaku. Entah apa yang mereka
bicarakan, tentangku atau tidak. Aku tetap minder. Wajah-wajah asing itu
menyalamiku dan menyuguhkan senyum ringannya. Ringan namun lembut dan membuatku
hanyut. Meski ragu, aku tetap mencoba membaur dengan mereka. Mungkin hanya aku
yang asing di sana, jadi pembicaraan mereka terdengar aneh dan garing di
telingaku.
Aku hanya berdiam diantara 300
peserta didik baru, sedangkan yang lainnya saling bersaling sapa,berkenalan,
dan bercerita seakan mereka sudah kenal lama. Sampai salah seorang temanku
mendekatiku dan mengajakku berkenalan “hey, kenalin aku Chacha. Kamu siapa?“.
“Icha“ jawabku singkat. Bagiku mendapat satu teman saja sudah sangat
senang.
Aku menyamar menjadi seorang
pendiam, hingga suatu ketika seseorang menghampiriku. Wajahnya yang teduh
menatapku dengan mimik iba. Dia bernama Bela, umurnya dua tahun lebih tua
dariku. Aku yakin ia orang yang baik. Awalnya ia menanyakan siapa namaku. Lalu
berlanjut ke kehidupanku sehari-hari dan juga masa laluku.
“Kangen ibuk.. kangen rumah..”
suaraku terbata-bata menahan tangis yang tak lama meledak juga. Sering aku
menangis di depan Bela, kala itu tubuh rapuhku tak jauh beda dengan mentalku
yang belum pulih dari keterpurukan. Belum sempat bercerita panjang, ada
sesuatu yang mengharuskan Bela pindah. Dan itu berarti aku harus beradaptasi
dengan kehidupan baruku, tanpa bergantung kepada Bela lagi. Tak pernah
terbersit sekalipun di otakku jika aku harus berpisah dengannya.“Dik, tetap
semangat ya.“ Bela berusaha menenangkanku. Tangis mengiringi perpisahan kami.
***
Hari-hariku selalu diwarnai
dengan kesedihan, apalagi tanpa Bela disampingku. Bahkan sampai dua bulanpun
aku belum mampu beradaptasi dengan baik. Aku bersikeras membujuk orangtuaku
agar menyetujuiku pindah sekolah, tapi hasilnya nihil. Mereka tetap memaksaku
agar tetap bertahan. Apalah dayaku, aku coba jalani semuanya dengan keikhlasan
meskipun berat.
Selang beberapa bulan, aku mulai
bisa berkomunikasi dengan sekitar. Aku menemukan banyak teman dan lisanku sudah
mulai bergerak aktif. Mungkin teman-teman menganggapku cerewet. Tapi sebenarnya
aku memang cerewet. Berbagai kegiatan baik di sekoalah maupun pondok, aku sudah
mulai bisa menyesuaikannya. Aku sudah bangkit, bukan lagi Icha yang pendiam.
Seperti apa yang dikatakan
kakak-kakak kelas, kelas tujuh itu masih lugu dan polos . Kelasku 7G yang
terpandang mayoritas adalah anak-anak bandel, tapi sikap kekanak-kanakan
tetaplah ada. Hingga suatu ketika kelasku mengalami perpecahan. Dengan
gampangnya aku malah lari dari perpecahan itu bersama satu temanku, Fanny. Ya,
kami memilih keluar dari kelas kala pelajaran kosong, hanya untuk
menghindari kericuhan.
Satu semester terlewati, perpecahan
itu belum juga selesai, hingga berita tersebut sampai kepada wali kelasku.
Beliau akhirnya turun tangan memecahkan masalah itu, dan Alhamdulillah kami
dapat bersatu kembali. Semenjak kejadian itu, kami menjadi semakin kompak.
Terbukti ketika ada berbagai even, lomba, classmeeting, dll, kami selalu
mendapatkan prestasi.
***
Aku naik kelas delapan,
tepatnya 8D. Sudah nggak asing lagi bagiku karena nggak sedikit temanku dari
kelas 7G yang sekelas lagi denganku. Hari pertama aku menduduki kelas delapan,
dalam pemilihan pengurus kelas teman-teman memilihku sebagai sekretaris. Aku
mulai tugasku dengan mendercakkan spidol di atas whiteboard.
Salah seorang ibu guru memerintahkan
untuk membentuk kelompok dan tiap kelompok harus berasal dari kelas yang
berbeda. Suasana kelas berubah ricuh seketika. Semua siswi kesana kemari
mencari kelompok. Dengan wajah yang lugu aku hanya duduk santai, tidak seperti
yang lainnya. “ngapain pada bingung mencari teman, toh pada dasarnya teman nanti
juga bakal datang sendiri. Lha wong konco kok milah-mileh..” Gumamku
dalam hati. Dan benar, seketika juga empat orang menghampiriku kemudian
mengajakku untuk bergabung dalam kelompok mereka. Mereka adalah Rira, Acha,
Fafa, dan Lili.
Pertama kali aku berkenalan dengan
mereka, aku sudah merasakan hawa yang berbeda. Mereka sangat baik. Seiring
waktu berlalu, aku semakin akrab dengan mereka berempat. Hari-hari kami lalui
bersama. Dengan rasa kebersamaan, kekeluargaan, saling memahami, dan janji yang
terpatri kuat dalam hati kami, akhirnya kami memutuskan untuk bersahabat dan
kami menamai “D’Chafafiya” sebagai tanda kebersamaan kami. Bukan untuk
dibangga-banggakan, bukan untuk jadi penguasa, apalagi menjadi gank. Hanya
sekedar tempat untuk berbagi dengan rasa saling mengerti. Hari-hari kami lalui
bersama dengan gelak canda tawa, kemanapun kami selalu bersama.
Lambat laun kehidupan baruku
mulai menyatu dengan kenyamananku. Aku hanyut dalam canda mereka yang
sesekali menyentil di sela-sela aktifitasku. Keberadaanku sebagai anggota
“D’Chafafiya” sampai di puncak tatkala rasa sayang mereka terhadapku tak kurang
dari kata ‘teramat sangat’. Aku semakin betah berada di komunitas ini.
Suatu
ketika, aku dan Rira bertengkar. Siapa lagi kalau bukan aku yang memulainya. Tapi
bukan salahku sepenuhnya, aku dan Rira memang sama-sama keras kepala.
Bagaikan dua magnet yang mempunyai kutub sama, apabila kedua kutub yang sama
tersebut didekatkan maka akan saling menolak. Sedangkan Acha, Fafa, dan Lili
selalu meminta kami untuk damai. Berulang kali Rira juga telah meminta maaf
kepadaku, tapi aku tak kunjung dingin. Ironis memang, pertengkaran itu
berlangsung hingga kenaikan kelas 9. Rasa benciku kepada Rira memuncak tatkala
teman-teman sekelasku mengejekku dan Rira sebagai soulmate, aku semakin
acuh kepadanya. Suatu hari Rira memberiku surat yang tak lain isinya adalah
permintaan maaf. Tetapi aku justru menganggap dia lebai, benciku terhadapnya
semakin mendalam.
***
Persepsi
banyak orang bahwa kelas 9 adalah masa paling indah. Tak bisa dipungkiri lagi
kelas 9 adalah tingkatan paling tinggi diantara kelas 7 dan 8, dan dimana-mana
yang paling tua adalah yang dijadiin panutan bagi adik-adik kelas. Tapi kelas 9
itu tidak mudah, soalnya dihadapkan dengan berbagai persiapan menyongsong UN.
Dan sudah paten UN menjadi syarat kelulusan.
Awal
kelas 9 aku belum juga baikan sama Rira. Hari demi hari, persahabatan
D’Chafafiya justru semakin goyah. Entah kemana perginya kekompakan kami, dalam
waktu yang singkat kami berlima berubah menjadi saling acuh tak acuh. Disela
luluhnya kekompakan kami, Lili mulai menemukan hidup barunya. Lili ambigu
terhadapku, ia seolah nggak pernah menjadi bagian yang berharga dalam
hidupku. Sikapnya kepadaku seringkali membuatku tertatih.
***
Aku
merasa ada yang lain dengan kedekatan Lili sama Ree. Ree adalah teman
sekelasku, dia mencoba menyelam dalam hidup Lili. Perlahan dia mendekati Lili,
sering kali aku mendapati Lili bersama Ree. Entah kenapa aku nggak suka
dengan kedekatan mereka. Semenjak ada Ree aku merasa terabaikan oleh Lili.
Rupanya Ree telah merubah hidup Lili. Lili seolah nggak mengenaliku lagi, dia
berubah acuh kepadaku. Bodohnya diriku justru aku malah balik acuh kepadanya.
Mungkin
D´chafafiya sudah diambang kehancuran. Belum lama aku punya masalah sama Lili,
Acha dengan lugunya menusukku dari belakang. Sahabat yang selama ini sangat ku
percaya mengkhianatiku. Diam-diam ia menghanyutkan. Kemana janji persahabatan
kita ? Kala itu aku merasa terkhianati oleh sahabat-sahabatku sendiri. Janji
yang terikat kuat dalam tali persahabatan kita tiba-tiba kandas ditengah jalan.
Aku selalu berdoa dan berharap D’Chafafiya dapat bersatu kembali.
Kala
pelajaran kosong, aku keluar dari kelas untuk menghindari Lili. Karena aku tau
ia pasti akan bersama Ree, larut dalam gelak tawa. Aku tidak terbiasa dengan
keadaan ini. Biasanya aku lalui hari bersama Lili, Acha, dan Fafa. Kini aku
harus merengkuh hariku tanpa mereka. Sangat hampa rasanya tanpa mereka. Satu
pinta datang dari dalam hati kecilku “Beginikah akhir dari perjalanan
D’Chafafiya?” air mataku menetes dari ujung mataku dan berakhir di sudut
bibirku.
***
Persepsi
banyak orang menganggap bahwa masa remaja adalah dimana orang tersebut tidak
dapat mengendalikan emosinya dengan baik. Alhasil memang persepsi tersebut benar-benar
nyata dalam hidup. Waktu berputar sangatlah cepat, menjelang detik-detik UN
kelasku dihadapkan dengan konflik yang cukup rumit.
“Sudaaah…
sabar temaan, ini mungkin cobaan kita sebelum ujian. Tetap semangat yaa..!!”
sergah ketua kelasku yang berhasil membuat dirinya menjadi titik pusat
perhatian. Kali ini konflik kelasku cukup rumit karena berhubungan dengan kelas
tetangga. Sangat bengis, kala kelasku meminta maaf kepada mereka alhasil yang
kami dapati justru cacian dan makian.
Seiring
waktu berlalu, kelas 9 disibukkan dengan berbagai persiapan baik mental
maupun fisik. Tanpa tersadari konflik tersebut mereda dengan sendirinya.
***
Teeet.. teet.. bel dua kali menandakan waktu habis. Try out keduaku selesai
sudah, dan itu berarti masih dua kali try out yang harus aku jalani. Tapi kini
semangatku sudah luluh. Bahkan dalam try out ketiga dan keempat nilaiku semakin
jatuh, aku kembali rapuh. Kerapuhanku tak lama kemudian pulih kala
sahabat-sahabatku kembali memotivasiku untuk bangkit.
Senang sekali, kini D’Chafafiya bersatu kembali. Tapi satu hal yang belum
terselasaikan, aku sama Rira masih saling acuh.
***
Hari
perpisahan tiba. Aku harus kembali menerima kenyataan bahwa aku akan berpisah
dengan Lili, sahabatku juga teman sebangkuku selama dua tahun. Tangis
mengiringi kami ketika lagu “tentang kita” terdengar dari pusat podium. Yang
tak lain dilantunkan oleh paduan suara dari adik-adik kelas. Semua tenggelam
dalam keharuan. Ditengah hiruk pikuk, aku sengaja membuat secuil bait puisi
sederhana yang aku persembahkan untuk Acha, Lili, Fafa, dan Rira.
sahabatku,
Bagaimana kamu bercerita akan janji-janjimu, cerita tentang keinginanmu, dan beberapa hal mendasar yang menjadikan engkau tetap tegar dalam menjalani hidup, akan tetap menjadi pembelajaran buatku.
hasrat dan semangatmu yang akan selalu menjadi kekuatan untuk diriku belajar menjadi seseorang yang tabah.sahabatku,
Sangat lepas dan jelas diriku untuk mengenang bagaimana kita duduk bersama, bercerita, bercanda, dan mempelajari bagaimana susahnya menjadi seseorang yang bercita-cita untuk berbakti kepada orang tua. ketulusanmu membuatku mengerti apa itu cita-cita.sahabatku,
Tiada hal terindah yang bisa kita lewatkan untuk kembali mengenangmu dan menjadikanmu menjadi suatu bagian dari perjalananku. terima kasih telah menjadi bagian keluargaku dan mengisinya menjadi suatu bagian yang indah.sahabatku,
Mengenangmu kembali adalah belajar tentang keceriaan menikmati hidup, belajar tentang semangat hidup, belajar tentang cinta, belajar tentang indahnya persahabatan, juga belajar tentang pemaknaan atas keagungan-Nya. Aku hargai itu.. terima kasih sobat.
Tiga tahun bukanlah waktu yang lama, bagiku sangat singkat untuk waktu belajar
tantang hidup,pengorbanan, dan alam. Sudah saatnya aku harus meninggalkan putih
biru, sekolah dimana aku menemukan banyak ilmu baik science maupun
agama.
Kini
tiada kujumpai lagi adonan dalam putih biru. Masih sangat tergambar jelas
dibenakku, masa jaya putih-biru penuh dengan coretan tinta berwarna. Dan aku
akan menyimpan seuntai kenangan putih biru itu dalam memory permanenku.
S
E L E S A I