30 Maret 2012

Pelangi Putih-biru

Waktu berputar sangat cepat, masa merah putih baru saja kuselesaikan. Sekarang saatnya masuk dalam gerbang putih biru. Setamat  SD aku di hadapkan dilema yang cukup besar. Aku terhimpit di antara dua pilihan yang rumit. Sekolah negeri atau madrasah. Tiga perempat hatiku memilih sekolah negeri. Tapi seperempat lainnya mengharuskan untuk mematuhi orang tuaku sekolah di madrasah. Tapi pada akhirnya aku tak perlu berpikir panjang karena takdir telah menentukan, kembali aku harus menerimanya dengan ikhlas.

“Ibu, ayah, eyangti, aku pamit ya. Minta doanya biar aku betah disana“ aku meminta restu kepada seantero rumah. Dengan berat hati, aku mulai beranjak dari pintu rumah. Kulangkahkan kaki menuju rumah baru yang masih sangat asing bagiku, begitu juga penghuninnya. Rumah baruku jelas sangat berbeda dengan rumah yang aku tinggali  sejak lahir sampai sebesar ini.
Kericuhan  menyambutku ketika pertama kali aku datang, semua mata tertuju padaku. Entah apa yang mereka bicarakan, tentangku atau tidak. Aku tetap minder. Wajah-wajah asing itu menyalamiku dan menyuguhkan senyum ringannya. Ringan namun lembut dan membuatku hanyut. Meski ragu, aku tetap mencoba membaur dengan mereka. Mungkin hanya aku yang asing di sana, jadi pembicaraan mereka terdengar aneh dan garing di telingaku. 
Aku hanya berdiam diantara 300 peserta didik baru, sedangkan yang lainnya saling bersaling sapa,berkenalan, dan bercerita seakan mereka sudah kenal lama. Sampai salah seorang temanku mendekatiku dan mengajakku berkenalan “hey, kenalin aku Chacha. Kamu siapa?“. “Icha“ jawabku singkat. Bagiku mendapat satu teman saja sudah sangat senang. 
Aku menyamar menjadi seorang pendiam, hingga suatu ketika seseorang menghampiriku. Wajahnya yang teduh menatapku dengan mimik iba. Dia bernama Bela, umurnya dua tahun lebih tua dariku. Aku yakin ia orang yang baik. Awalnya ia menanyakan siapa namaku. Lalu berlanjut ke kehidupanku sehari-hari dan juga masa laluku.
“Kangen ibuk.. kangen rumah..” suaraku terbata-bata menahan tangis yang tak lama meledak juga. Sering aku menangis di depan Bela, kala itu tubuh rapuhku tak jauh beda dengan mentalku yang belum pulih dari keterpurukan. Belum sempat bercerita panjang,  ada sesuatu yang mengharuskan Bela pindah. Dan itu berarti aku harus beradaptasi dengan kehidupan baruku, tanpa bergantung kepada Bela lagi. Tak pernah terbersit sekalipun di otakku jika aku harus berpisah dengannya.“Dik, tetap semangat ya.“ Bela berusaha menenangkanku. Tangis mengiringi perpisahan kami.
***
 Hari-hariku selalu diwarnai dengan kesedihan, apalagi tanpa Bela disampingku. Bahkan sampai dua bulanpun aku belum mampu beradaptasi dengan baik. Aku bersikeras membujuk orangtuaku agar menyetujuiku pindah sekolah, tapi hasilnya nihil. Mereka tetap memaksaku agar tetap bertahan. Apalah dayaku, aku coba jalani semuanya dengan keikhlasan meskipun berat.
Selang beberapa bulan, aku mulai bisa berkomunikasi dengan sekitar. Aku menemukan banyak teman dan lisanku sudah mulai bergerak aktif. Mungkin teman-teman menganggapku cerewet. Tapi sebenarnya aku memang cerewet. Berbagai kegiatan baik di sekoalah maupun pondok, aku sudah mulai bisa menyesuaikannya. Aku sudah bangkit, bukan lagi Icha yang pendiam.
Seperti apa yang dikatakan kakak-kakak kelas, kelas tujuh itu masih lugu dan polos . Kelasku  7G yang terpandang mayoritas adalah anak-anak bandel, tapi sikap kekanak-kanakan tetaplah ada. Hingga suatu ketika kelasku mengalami perpecahan. Dengan gampangnya aku malah lari dari perpecahan itu bersama satu temanku, Fanny. Ya, kami memilih keluar dari kelas  kala pelajaran kosong, hanya untuk menghindari kericuhan.
Satu semester terlewati, perpecahan itu belum juga selesai, hingga berita tersebut sampai kepada wali kelasku. Beliau akhirnya turun tangan memecahkan masalah itu, dan Alhamdulillah kami dapat bersatu kembali. Semenjak kejadian itu, kami menjadi semakin kompak. Terbukti ketika ada berbagai even, lomba, classmeeting, dll, kami selalu mendapatkan prestasi.
*** 
Aku naik kelas delapan, tepatnya 8D. Sudah nggak asing lagi bagiku karena nggak sedikit temanku dari kelas 7G yang sekelas lagi denganku. Hari pertama aku menduduki kelas delapan, dalam pemilihan pengurus kelas teman-teman memilihku sebagai sekretaris. Aku mulai tugasku dengan mendercakkan spidol di atas whiteboard.
Salah seorang ibu guru memerintahkan untuk membentuk kelompok dan tiap kelompok harus berasal dari kelas yang berbeda. Suasana kelas berubah ricuh seketika. Semua siswi kesana kemari mencari kelompok. Dengan wajah yang lugu aku hanya duduk santai, tidak seperti yang lainnya. “ngapain pada bingung mencari teman, toh pada dasarnya teman nanti juga bakal datang sendiri. Lha wong konco kok milah-mileh..” Gumamku dalam hati. Dan benar, seketika juga empat orang menghampiriku kemudian mengajakku untuk bergabung dalam kelompok mereka. Mereka adalah Rira, Acha, Fafa, dan Lili.
Pertama kali aku berkenalan dengan mereka, aku sudah merasakan hawa yang berbeda. Mereka sangat baik. Seiring waktu berlalu, aku semakin akrab dengan mereka berempat. Hari-hari kami lalui bersama. Dengan rasa kebersamaan, kekeluargaan, saling memahami, dan janji yang terpatri kuat dalam hati kami, akhirnya kami memutuskan untuk bersahabat dan kami menamai “D’Chafafiya” sebagai tanda kebersamaan kami. Bukan untuk dibangga-banggakan, bukan untuk jadi penguasa, apalagi menjadi gank. Hanya sekedar tempat untuk berbagi dengan rasa saling mengerti. Hari-hari kami lalui bersama dengan gelak canda tawa, kemanapun kami selalu bersama. 
Lambat laun kehidupan baruku mulai menyatu dengan kenyamananku.  Aku hanyut dalam canda mereka yang sesekali menyentil di sela-sela aktifitasku. Keberadaanku sebagai anggota “D’Chafafiya” sampai di puncak tatkala rasa sayang mereka terhadapku tak kurang dari kata ‘teramat sangat’. Aku semakin betah berada di komunitas ini.
      Suatu ketika, aku dan Rira bertengkar. Siapa lagi kalau bukan aku yang memulainya. Tapi bukan salahku sepenuhnya,  aku dan Rira memang sama-sama keras kepala. Bagaikan dua magnet yang mempunyai kutub sama, apabila kedua kutub yang sama tersebut didekatkan maka akan saling menolak. Sedangkan Acha, Fafa, dan Lili selalu meminta kami untuk damai. Berulang kali Rira juga telah meminta maaf kepadaku, tapi aku tak kunjung dingin.  Ironis memang, pertengkaran itu berlangsung hingga kenaikan kelas 9. Rasa benciku kepada Rira memuncak tatkala teman-teman sekelasku mengejekku dan Rira sebagai soulmate, aku semakin acuh kepadanya. Suatu hari Rira memberiku surat yang tak lain isinya adalah permintaan maaf. Tetapi aku justru menganggap dia lebai, benciku terhadapnya semakin mendalam.
***
Persepsi banyak orang bahwa kelas 9 adalah masa paling indah. Tak bisa dipungkiri lagi kelas 9 adalah tingkatan paling tinggi diantara kelas 7 dan 8, dan dimana-mana yang paling tua adalah yang dijadiin panutan bagi adik-adik kelas. Tapi kelas 9 itu tidak mudah, soalnya dihadapkan dengan berbagai persiapan menyongsong UN. Dan sudah paten UN menjadi syarat kelulusan.
Awal kelas 9 aku belum juga baikan sama Rira. Hari demi hari, persahabatan D’Chafafiya justru semakin goyah. Entah kemana perginya kekompakan kami, dalam waktu yang singkat kami berlima berubah menjadi saling acuh tak acuh. Disela luluhnya kekompakan kami, Lili mulai menemukan hidup barunya. Lili ambigu terhadapku, ia seolah nggak pernah menjadi bagian yang  berharga dalam hidupku. Sikapnya kepadaku seringkali membuatku tertatih.
***
    Aku merasa ada yang lain dengan kedekatan Lili sama Ree. Ree adalah teman sekelasku, dia mencoba menyelam dalam hidup Lili. Perlahan dia mendekati Lili, sering  kali aku mendapati Lili bersama Ree. Entah kenapa aku nggak suka dengan kedekatan mereka. Semenjak ada Ree aku merasa terabaikan oleh Lili. Rupanya Ree telah merubah hidup Lili. Lili seolah nggak mengenaliku lagi, dia berubah acuh kepadaku. Bodohnya diriku justru aku malah balik acuh kepadanya.
    Mungkin D´chafafiya sudah diambang kehancuran. Belum lama aku punya masalah sama Lili, Acha dengan lugunya menusukku dari belakang. Sahabat yang selama ini sangat ku percaya mengkhianatiku. Diam-diam ia menghanyutkan. Kemana janji persahabatan kita ? Kala itu aku merasa terkhianati oleh sahabat-sahabatku sendiri. Janji yang terikat kuat dalam tali persahabatan kita tiba-tiba kandas ditengah jalan. Aku selalu berdoa dan berharap D’Chafafiya dapat bersatu kembali.
     Kala pelajaran kosong, aku keluar dari kelas untuk menghindari Lili. Karena aku tau ia pasti akan bersama Ree, larut dalam gelak tawa. Aku tidak terbiasa dengan keadaan ini. Biasanya aku lalui hari bersama Lili, Acha, dan Fafa. Kini aku harus merengkuh hariku tanpa mereka. Sangat hampa rasanya tanpa mereka. Satu pinta datang dari dalam hati kecilku “Beginikah akhir dari perjalanan D’Chafafiya?” air mataku menetes dari ujung mataku dan berakhir di sudut bibirku.
***
   Persepsi banyak orang menganggap bahwa masa remaja adalah dimana orang tersebut tidak dapat mengendalikan emosinya dengan baik. Alhasil memang persepsi tersebut benar-benar nyata dalam hidup. Waktu berputar sangatlah cepat, menjelang detik-detik UN kelasku dihadapkan dengan konflik yang cukup rumit.
“Sudaaah… sabar temaan, ini mungkin cobaan kita sebelum ujian. Tetap semangat yaa..!!” sergah ketua kelasku yang berhasil membuat dirinya menjadi titik pusat perhatian. Kali ini konflik kelasku cukup rumit karena berhubungan dengan kelas tetangga. Sangat bengis, kala kelasku meminta maaf kepada mereka alhasil yang kami dapati justru cacian dan makian.
Seiring waktu berlalu, kelas 9  disibukkan dengan berbagai persiapan baik mental maupun fisik. Tanpa tersadari konflik tersebut mereda dengan sendirinya.
***
     Teeet.. teet.. bel dua kali menandakan waktu habis. Try out keduaku selesai sudah, dan itu berarti masih dua kali try out yang harus aku jalani. Tapi kini semangatku sudah luluh. Bahkan dalam try out ketiga dan keempat nilaiku semakin jatuh, aku kembali rapuh. Kerapuhanku tak lama kemudian pulih kala sahabat-sahabatku kembali memotivasiku untuk bangkit.
     Senang sekali, kini D’Chafafiya bersatu kembali. Tapi satu hal yang belum terselasaikan, aku sama Rira masih saling acuh.
***
   Hari perpisahan tiba. Aku harus kembali menerima kenyataan bahwa aku akan berpisah dengan Lili, sahabatku juga teman sebangkuku selama dua tahun. Tangis mengiringi kami ketika lagu “tentang kita” terdengar dari pusat podium. Yang tak lain dilantunkan oleh paduan suara dari adik-adik kelas. Semua tenggelam dalam keharuan. Ditengah hiruk pikuk, aku sengaja membuat secuil bait puisi sederhana yang aku persembahkan untuk Acha, Lili, Fafa, dan Rira.
sahabatku,
Bagaimana kamu bercerita akan janji-janjimu, cerita tentang keinginanmu, dan beberapa hal mendasar yang menjadikan engkau tetap tegar dalam menjalani hidup, akan tetap menjadi pembelajaran buatku.
hasrat dan semangatmu yang akan selalu menjadi kekuatan untuk diriku belajar menjadi seseorang yang tabah.
sahabatku,
Sangat lepas dan jelas diriku untuk mengenang bagaimana kita duduk bersama, bercerita, bercanda, dan mempelajari bagaimana susahnya menjadi seseorang yang bercita-cita untuk berbakti kepada orang tua. ketulusanmu membuatku mengerti apa itu cita-cita.
sahabatku,
Tiada hal terindah yang bisa kita lewatkan untuk kembali mengenangmu dan menjadikanmu menjadi suatu bagian dari perjalananku. terima kasih telah menjadi bagian keluargaku dan mengisinya menjadi suatu bagian yang indah.
sahabatku,
Mengenangmu kembali adalah belajar tentang keceriaan menikmati hidup, belajar tentang semangat hidup, belajar tentang cinta, belajar tentang indahnya persahabatan, juga belajar tentang pemaknaan atas keagungan-Nya. Aku hargai itu.. terima kasih sobat.
     Tiga tahun bukanlah waktu yang lama, bagiku sangat singkat untuk waktu belajar tantang hidup,pengorbanan, dan alam. Sudah saatnya aku harus meninggalkan putih biru, sekolah dimana aku menemukan banyak ilmu baik science maupun agama.
Kini tiada kujumpai lagi adonan dalam putih biru. Masih sangat tergambar jelas dibenakku, masa jaya putih-biru penuh dengan coretan tinta berwarna. Dan aku akan menyimpan seuntai kenangan putih biru itu dalam memory permanenku.

S  E  L  E  S A  I